Pahamilah jangan minta dipahami …, entah darimana kata-kata itu… di sore ini seakan muncul kembali di fikiran seorang manusia yang masih lemah ini. Memang tadi telah muncul di sekelumit otak ini waktu menulis mengisi ‘apa yang kau fikirkan di salah satu situs’. Ya, seakan sambil mendengarkan instrumen yang sudah kurindukan dari dulu ini, fikiran tentang “Barseso” kembali muncul. Bayangan akan cerita saudara “Ali” muncul, lalu bagimana “Sholahuddin al-ayubi” seperti diceritakan salah satu penulis yang bukunya belum sempat kubaca habis.
Mengalirkan fikiran menjadi manusia yang positif bagi orang lain itu mungkin tak semudah membalikkan telapak tangan. Kadang terbersit, bagaimana seorang motivator atau trainer atau murabbi misalnya menyemangati diri mereka… apakah mereka sujud dikeheningan malam, mengeluhkan semua masalahnya pada sang istri, terdiam sejenak di tepian kota, melihat video atau suara-suara tentang motivasi.
Tulisan kali ini memang tanpa arah, karena ada tekanan mental entah dari mana datangnya untuk segera menulis apa saja… ketika mendengar suara ibu rasanya aku ingin segera mencari uang sebanyak-banyaknya untuk segera memuliakan orang tua. Ingin segera mendapat buayak harta yang ingin kuberi pada mereka. Aku rasa aku gagal jadi lebih baik hari ini, mungkin ayah akan kecewa, ibu akan menangis tentang sikapku kali ini…
Entah kenapa fikir ini selalu mengingatkan kalau sekarang kau adalah seorang pemimpin, pemimpin di salah satu komunitas non profit. Ya, sindiran dari * memang benar jadi * tapi gak dibayar, mungkin itu sekilasnya. Lalu apa yang harus dilakukan? Tak dapat menolak memang, tak dapat berpaling ketika batu di depan itu harus disingkirkan.
Mendesah lemas itu yang kadang dilalukan … tapi itu tak mengurangi apa yang ada dalam bebanmu sobat.. apa yang kau rasa tak dirasanya.. maka, cara paling baik adalah merasakannya.. maksudnya? Ya merasakan sendiri. Kadang teringat tentang teori fasilitator atau manusia yang baik adalah tak membagikan kotoran pada manusia yang lain, tapi membagikan makanan yang enak pada mereka.
Wah apa lagi yang ingin ditulis…
Semoga ustadzku dapat bangga mempunyai santri yang masih ingin berusaha merubah nasibnya dan keluarganya…
Satu kalimat penutup tulisan yang kurang masuk nominee baik ini adalah
“melihat daun yang jatuh di genteng orang lain akan lebih mudah, tapi melihat daun yang jatuh di rumah sendiri kan lebih sulit…” Biarkan mereka menunjukkan narsisme mereka dengan cara mereka, aku… hmm… biarkan memperbaiki yang masih rapuh ini, tunggulah beberapa saat lagi akan kuruntuhkan ego mereka…